Beranda | Artikel
Hukum-Hukum Lainnya
Rabu, 20 April 2022

Pembahasan Keenam
Hukum-Hukum Lainnya

1. Wewangian
Orang yang i’tikaf boleh memakai wangi-wangian dan bukan perkara yang dimakruhkan, insya Allah.

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Demikian pendapat mayoritas ulama, di antaranya Malik, Abu Hanifah, Abu Tsaur. Penulis kitab al-Mughni berkata, ‘Boleh memakai wangi-wangian, kemudian menukil perkataan Ahmad, ‘Hal itu tidak menarik untukku.’ Yakni seolah-olah ia tidak menyukainya.”

2. Bercumbu dan bersetubuh dengan isteri
Menurut kesepakatan para fuqaha’, bersetubuh merupakan perkara yang dapat membatalkan i’tikaf, dan pada asalnya tidak ada kafarat bagi yang melakukannya menurut sebagian besar pendapat pakar fiqih. Pendapat ini berseberangan dengan pendapat al-Hasan, az-Zuhri dan satu riwayat dari Ahmad yang dinukil oleh penulis kitab al-Mughni.

Para ulama berselisih pendapat tentang bercumbu tanpa mengeluarkan mani bagi orang yang sedang i’tikaf.

Menurut Malik, Ahmad, Dawud dan pendapat asy-Syafi’i yang masyhur bahwa bercumbu dapat membatalkan i’tikaf walaupun tidak sampai mengeluarkan mani.

Dalam satu pendapat dari asy-Syafi’i dan Abu Hanifah bahwa bercumbu tidak mambatalkan i’tikaf kecuali jika disertai dengan jima’. Mereka mengqiyaskannya dengan puasa.

Pendapat yang terkuat adalah bercumbu sama hukumnya seperti jima’, yakni dapat mambatalkan i’tikaf, baik sampai keluar mani maupun tidak demi untuk menjaga kehormatan masjid.

Terfikir olehku tidak dibolehkan seorang isteri menyisir dan membersihkan rambut suaminya sementara keduanya berada di dalam masjid. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anha yang pernah menyisir rambut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dalam kamarnya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di dalam masjid. Ia tidak menyisir rambut beliau di dalam masjid. Tentunya tidak mungkin seorang isteri menyisir rambut suaminya di depan orang ramai di dalam masjid. Wallaahu a’lam.

3. Keluar yang dapat membatalkan i’tikaf
Tidak boleh ia keluar untuk tamasya, jalan-jalan atau untuk mencari minum, seperti minu-man juice atau minuman halal lainnya. Terkecuali jika ia keluar masjid untuk suatu keperluan penting, lantas di perjalanan ia merasa haus, maka tidak mengapa ia minum. Namun jika ia keluar hanya untuk jalan-jalan, maka batallah i’tikafnya. Sebab keluarnya dari masjid hanya dibolehkan untuk kebutuhan penting dan tidak boleh untuk selainnya.

Apabila ketika i’tikaf ia minum khamr atau bir atau mengisap rokok, maka batallah i’tikaf. Jika ia tidak tahu bahwa minuman tersebut memabukkan sehingga ia pun mabuk, maka batallah i’tikafnya menurut pendapat yang terkuat. Namun jika kemudian ia mengetahuinya, lalu ia muntah-kan dan berkumur-kumur serta tidak sampai mabuk, maka hal ini tidak membatalkan i’tikaf. Jika ia keluar untuk suatu keperluan penting dan di jalan ia sempatkan untuk mengisap rokok, maka i’tikafnya batal. Jika ia keluar untuk melakukan salah satu jenis maksiat apa pun, maka i’tikaf batal, walaupun tadinya ia menetapkan syarat tersebut untuk i’tikafnya. Hukum kasus seperti ini sama seperti hukum i’tikaf yang menetapkan syarat untuk dirinya boleh keluar untuk besetubuh dengan isterinya. Wallaahu a’lam.

4. Mendirikan tenda, kemah, kelambu atau tempat tidur
Perkara ini mustahil untuk dilakukan di sebagian masjid yang ada sekarang ini. Contohnya Masjidil Haram atau Masjid Nabawi. Jika hal ini dilakukan, maka akan menimbulkan kerusakan di samping akan mempersempit ruang orang yang melaksanakan shalat. Adapun di masjid lain yang mungkin untuk mendirikan tenda atau kemah di dalamnya, maka hal ini boleh dilakukan. Seperti masjid kampung, dengan syarat perkara tersebut tidak menimbulkan masalah yang besar di dalam masjid. Seperti timbulnya protes dari masyarakat atau mengakibatkan imam masjid mendapat protes keras dari masyarakat atau dilarang oleh pemerintah setempat. Adapun meletakkan tilam atau bantal, maka hal tersebut tidaklah mengapa. Wallaahu a’lam.

Demikian juga tidak mengapa menentukan tempat khusus untuk orang yang sedang i’tikaf dan ini lebih diutamakan daripada menyediakan tempat untuk orang yang datang untuk melaksanakan shalat lalu pulang ke rumahnya. Telah disiapkan tilam untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dekat tiang Taubah.[1] Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala  berfirman:

اَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّاۤىِٕفِيْنَ وَالْعٰكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ

“…Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” [Al-Baqarah/2: 125]

Dengan demikian yang lebih diutamakan adalah orang thawaf, lalu orang i’tikaf, lalu orang shalat. Oleh karena itu, tidak boleh i’tikaf di tempat orang thawaf atau melaksanakan shalat sunnah sehingga mempersempit orang yang sedang melakukan thawaf.

5. Keluar untuk melaksanakan ‘umrah
Jika ia menetapkan syarat tersebut untuk dirinya, maka ia boleh melakukannya. Jika tidak, maka ia tidak boleh keluar untuk melaksanakan ‘umrah.

6. Wanita haidh dan nifas
Jika seorang wanita terkena haidh atau nifas, maka ia harus meninggalkan masjid hingga ia suci, lalu ia melanjutkan i’tikaf menurut jumlah hari yang telah ia lakukan. Jika seorang wanita bernadzar akan melaksanakan i’tikaf dalam beberapa hari dan berturut-turut, maka hukumnya sama seperti hukum kafarat jima’ dua bulan berturut-turut. Seorang wanita haidh tidak mungkin melakukannya selama dua bulan berturut-turut. Sebab diketahui bahwa waktu haidh pasti akan datang (setiap bulannya). Dengan demikian “berturut-turut” tidak menjadi hitungan.

7. Masuk dan keluarnya orang i’tikaf pada sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan)
Di anjurkan agar ia masuk pada pagi hari kedua puluh dan wajib baginya masuk sebelum terbenamnya matahari pada malam kedua puluh satu. Barangsiapa bernadzar masuk i’tikaf setelah tanggal tersebut, maka ia tidak termasuk i’tikaf sepuluh hari terakhir. Barangsiapa berniat i’tikaf pada sepuluh hari terakhir, maka tidak mengapa jika ternyata hitungan bulan kurang (dari 30 hari).

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah madzhab kami dan madzhab Malik, ats-Tsauri dan Abu Hanifah. Al-Auza’i, Ishaq dan Abu Tsaur berkata, ‘Ia boleh masuk ketika terbit fajar tanggal 21 dan tidak harus masuk pada malam 21 tersebut. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa penulis al-Mughni juga berpendapat seperti ini.”

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Jika ia bernadzar i’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan, maka ia harus masuk sebelum matahari terbenam sore tanggal 20  atau malam ke 21.”

Di sini perlu dijelaskan perbedaan antara sepuluh hari terakhir dan malam-malam sepuluh yang akhir bulan Ramadhan. Kalimat pertama artinya jika ternyata hitungan bulan kurang dari 30 hari, berarti jumlah hari menjadi 9 bukan 10. Adapun makna malam-malam sepuluh yang akhir bulan Ramadhan  maksudnya bilangan di sini adalah melaksanakan i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan.

Bagi siapa yang bernadzar akan beri’tikaf sepuluh hari di akhir bulan Ramadhan, maka hendaknya ia berhati-hati dan masuk ke masjid pada malam hari ke-20. Sebagaimana pendapat Ibnu Hazm jika ternyata bilangan hari tidak sampai 10, maka ia harus sempurnakan dengan menambah satu hari bulan Syawwal. Dengan kata lain, jika ia bernadzar dengan satu bilangan, maka ia wajib melaksanakannya sesuai dengan bilangan yang telah ia nadzarkan. Adapun jika ia bernadzar sepuluh hari yang akhir menurut istilah, maka ia boleh masuk ke masjid pada malam 21 dan tidak mengapa jika jumlah hari pada bulan tersebut kurang dari 30 hari. Demikian pendapat asy-Sya-fi’i. Wallaahu a’lam.

[Disalin dari kitab Ad-Du’aa’ wal I’tikaaf, Penulis Syaikh Samir bin Jamil bin Ahmad ar-Radhi, Judul dalam bahasa Indonesia I’tikaf Menurut Sunnah yang Shahih, Penerjemah Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit  Pustaka Ibnu Katsir]
______
Footnote
[1]  Nash hadits: “Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam i’tikaf, disediakan untuk beliau sebuah tilam atau disediakan tempat tidurnya di belakang tiang Taubah.” Hadits riwayat Ibnu Majah dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma (I/564, no. 1774). Pentahqiq hadits ini berkata, “Sanadnya shahih dan semua perawinya tsiqah.”


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/54814-hukum-hukum-lainnya.html